Beberapa pakar sosiologi memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang definisi perubahan sosial, antara lain :
John Lewis Gillin, menyatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima yang disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, serta karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat.
Samuel Koenig, menyatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab intern dan ekstern.
Soemardjan, menyatakan bahwa perubahan sosial adalah segala bentuk perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kesimpulannya, perubahan sosial dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara unsur-unsur yang saling berbeda yang ada dalam kehidupan sosial sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan.
Ciri-ciri perubahan sosial :
- Tidak ada masyarakat yang terhenti perkembangannya karena masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara cepat dan secara lambat.
- Antar lembaga sosial yang ada dalam struktur sosial masyarakat saling berkaitan. Oleh karena itu perubahan yang terjadi pada satu lembaga sosial akan juga berpengaruh pada lembaga sosial yang lain.
- Perubahan sosial yang terjadi secara cepat dapat menimbulkan terjadinya disorganisasi, dalam artian masyarakat dalam tahap menyesuaikan diri.
- Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual saja karena kedua bidang tersebut saling berkaitan.
Perubahan sosial yang sering terjadi saat ini contohnya : Pernikahan Siri
Kata “siri” dalam istilah nikah siri berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang berarti “rahasia”. Melalui akar kata ini nikah siri berarti sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan (jahri). Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum), agama dan atau adat istiadat tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatat secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama non-islam”.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Syarat nikah siri yang sah adalah memenuhi syarat sah nikah menurut agama yaitu adanya kedua calon mempelai, adanya ridho dari kedua mempelai (dalam hal ini tidak ada unsur paksaan), adanya wali, dua orang laki-laki muslim yang mukallaf sebagai saksi, dan kedua mempelai tanpa cacat yang bisa menghalangi pernikahan. Syarat nikah siri yang sah juga terdapat akad nikah sebagaimana ketentuan syariat agama Islam yaitu ijab dan qabul. Meski siri atau tersembunyi, mahar merupakan syarat nikah siri yang sah. Jadi, jangan dianggap bahwa pernikahan siri tidak perlu membayar mahar. Ini merupakan syarat sahnya pernikahan sehingga harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut yang sesuai dengan tuntunan agama dan merupakan syarat nikah siri yang sah. Dengan demikian, tidak boleh menganggap bahwa nikah siri bisa dilakukan sesuka hati tanpa mengindahkan ketenuan syariat agama Islam dan orang yang telah memenuhi syarat nikah siri yang sah tersebut dan melakukan pernikahan, maka pernikahan mereka sah secara agama dan bukan suatu tindakan kemaksiatan.
Dengan mengetahui syarat nikah siri yang sah secara agama, maka hendaknya orang juga bisa lebih bijak dalam mengambil sikap. Tidak meremehkan pernikahan hanya untuk mencapai tujuan kesenangan semata. Munculnya kegelisahan baik dari pemerintah serta masyarakat akan nikah siri adalah karena ada berbagai oknum yang menyalahgunakan nikah siri tersebut sebagai tameng tindak kemaksiatan mereka. Orang-orang yang seperti inilah yang hendaknya mendapatkan tindakan tegas dari aparat negara sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Namun, tidak sedikit pula orang yang melakukan nikah siri dengan memenuhi syarat nikah siri yang sah. Permasalahan mereka mungkin terletak pada kurangnya biaya untuk mengurus administrasi ke KUA dan hendaknya ini juga menjadi perhatian bagi aparat negara utuk bisa memberikan solusi terbaik.
Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang nikah siri?
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 2009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.