Kamis, 11 November 2010

Pola Hidup Masyarakat Terstratifikasi dan Teori Stratifikasi Sosial

Pola Hidup Masyarakat yang Terstratifikasi

Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertical (bertingkat), yang di wujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

Stratifikasi sosial (Pelapisan sosial) sudah mulai dikenal sejak manusia menjalin kehidupan bersama. Terbentuknya pelapisan sosial merupakan hasil dari kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun, baik secara perorangan maupun kelompok. Pada masyarakat yang taraf kebudayaannya masih sederhana, maka pelapisan yang terbentuk masih sedikit dan terbatas, sedangkan masyarakat modern memiliki pelapisan sosial yang kompleks dan tajam perbedaannya.

Stratifikasi sosial akan membedakan warga masyarakat menurut kekuasaan dan pemilikan materi. Kriteria ekonomi selalu berkaitan dengan aktivitas pekerjaan, kepemilikan kekayaan, atau kedua-duanya. Dengan begitu, pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke dalam beberapa stratifikasi atau kelas ekonomi.

Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu :

  1. Masyarakat yang terdiri dari kelas atas (upper class),
  2. Masyarakat yang terdiri kelas menengah (middle class)
  3. Masyarakat kelas bawah (lower class).

Orang-orang yang berada pada kelas bawah (lower) biasanya lebih banyak (mayoritas) daripada di kelas menengah (middle) apalagi pada kelas atas (upper). Semakin ke atas semakin sedikit jumlah orang yang berada pada posisi kelas atas (upper class).

Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :

  1. Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
  2. Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
  3. Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
  4. Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pelapisan sosial dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti adanya perbedaan gaya hidup dan perlakuan dari masyarakat terhadap orang-orang yang menduduki pelapisan tertentu. Stratifikasi sosial juga menyebabkan adanya perbedaan sikap dari orang-orang yang berada dalam strata sosial tertentu berdasarkan kekuasaan, privilese dan prestise. Dalam lingkungan masyarakat dapat terlihat perbedaan antara individu, atau satu keluarga lain, yang dapat didasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki. Yang kaya ditempatkan pada lapisan atas, dan miskin pada lapisan bawah. Atau mereka yang berpendidikan tinggi berada di lapisan atas sedangkan yang tidak sekolah pada lapisan bawah. Dari perbedaan lapisan sosial ini terlihat adanya kesenjangan sosial. Hal ini tentu merupakan masalah sosial dalam masyarakat.

Perbedaan sikap tersebut tercermin dari gaya hidup seseorang sesuai dengan strata sosialnya. Pola gaya hidup tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian, tempat tinggal, cara berbicara, pemilihan tempat pendidikan, hobi dan tempat rekreasi.

  • Cara Berpakaian. Seseorang yang tergolong dalam strata sosial atas dapat dilihat dari gaya busananya. Biasanya orang-orang kelas atas menggunakan busana dan aksesoris lain, seperti sepatu, tas, jam tangan yang bermerek dan dari luar negeri. Sedangkan mereka yang termasuk strata sosial menengah ke bawah, lebih memilih menggunakan barang-barang produksi dalam negeri.

  • Tempat Tinggal. Pada umumya masyarakat kelas atas akan membangun rumah yang besar dan mewah dengan gaya arsitektur yang indah. Masyarakat kelas atas lebih menyukai tinggal di kawasan elite dan apartemen mewah yang dilengkapi dengan fasilitas modern. Sedangkan masyarakat yang tergolong strata menengah lebih memilih bentuk dan tipe rumah yang sederhana bahkan ada juga yang tinggal di rumah susun.
  • Cara Berbicara. Cara berbicara orang-orang yang tergolong strata atas akan berbeda dengan orang-orang yang berada dalam strata bawah. Mereka yang termasuk dalam golongan strata atas memiliki gaya berbicara yang beradaptasi dengan istilah-istilah asing serta penuh dengan kesopanan. Sedangkan orang-orang yang berada dalam strata bawah terkadang suka berbicara yang tidak terlalu memperhatikan etika.
  • Pendidikan. Pendidikan menjadi faktor yang paling penting bagi setiap masyarakat. Umumnya masyarakat strata atas memilih memasukkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah ataupun universitas-universitas yang berkualitas tinggi termasuk sekolah di luar negeri. Sedangkan bagi masyarakat yang menduduki pelapisan bawah lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dalam negeri.
  • Hobi dan rekreasi. Menyalurkan hobi serta berekreasi merupakan hal-hal yang diperhatikan oleh masyarakat yang berada dalam pelapisan atas. Biasanya orang-orang yang berada dalam strata atas memilih olahraga yang ekslusif seperti golf, balap mobil, serta menyalurkan hobi, seperti main piano,main biola, menonton orkestra, mengoleksi lukisan-lukisan mahal dan sebagainya. Begitu pula berekreasi, mereka lebih memilih berekreasi ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Sedangkan, bagi masyarakat yang tergolong strata bawah, lebih memilih hobi dan berekreasi yang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, seperti bermain sepak bola, dan berekreasi ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Teori Stratifikasi Sosial

Ada beberapa teori tentang stratifikasi sosial. Teori-teori yang paling terkenal adalah teori evolusioner-fungsionalis, teori surplus dan teori kelangkaan.

Teori Evolusioner-fungsionalis (Talcott Parsons) menjelaskan bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai makhluk sosial. Masyarakat telah berevolusi berabad-abad melalui kapasitas adaptif yang semakin tinggi. Masyarakat kontemporer memiliki kapasitas adaptifnya yang semakin efisien dibanding masa sebelumnya. Timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial. Dobrakan evolusioner membuat banyak bentuk-bentuk kemajuan sosial.

Teori Surplus dari Gerhard Lenski yang berorientasi materialistis dan berlandaskan teori konflik. Teori konflik yang bertentangan dengan teori Parsons berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya. Individu berperilaku menurut kepentingan pribadi, bekerja sama dengan sesama jika terkait dengan kepentingannya dan akan berebut dengan sesama jika melihat kesempatan terbuka bagi kepentingannya. Individu relatif tidak pernah puas dan mempunyai kemampuan yang berbeda.

Teori Kelangkaan yang merupakan devasi pemikiran Michael Hamer, Morton Fried, dan Rac Lesser Blumberg. Teori ini beranggapan bahwa penyebab utama timbulnya stratifikasi disebabkan tekanan jumlah penduduk. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan semakin kuatnya egoisme dalam pemilikan tanah, dan hubungan produksi (dalam pemikiran Marxisme) telah menghilangkan apa yang disebut sebagai pemilikan bersama. Perbedaan akses terhadap sumber daya muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja lebih keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhka. Dengan meningkatnya tekanan penduduk dan ekonomi, perbedaan akses terhadap sumber daya semakin nyata dan stratifikasi semakin insentif dengan dorongan politik yang semain besar komunisme.

Disamping teori-teori diatas ada pula teori sebagai berikut :

Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883)

Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.

Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.

Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

Teori pertukaran sosial ini didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang dapat mencapai suatu pengertian mengenai sifat kompleks dari kelompok dengan mengkaji hubungan di antara dua orang (dyadic relationship). Suatu kelompok dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kumpulan dari hubungan antara dua partisipan tersebut.

Perumusan tersebut mengasumsikan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya (cost) dan imbalan (reward) dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respons dari individu-individu selama berinteraksi sosial. Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok kan diakhiri, atau individu-individu yang terlibat akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apapun yang mereka cari.

Pendekatan pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan.

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalahpsikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk kedalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperolehimbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkansuatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosialpun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang salingmempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orangl ain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang salingmempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melaluiadanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri ataspertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akanlanggeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilakuseseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagidirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.

Teori Interaksi Simbolik

Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.

Asumsi-asumsi:

  • Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.
  • Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.

1 komentar: