Selasa, 11 Januari 2011

Analisa Bentuk Birokrasi Negara Maju dengan Negara Berkembang

Birokrasi, merupakan sebuah ‘mesin’ yang secara substansial baik fungsi maupun strukturnya adalah mirip di setiap Negara. Unsur-unsur seperti hirarki jabatan, impersonalitas, model struktur jabatan relative sama baik di birokrasi Negara maju maupun berkembang. Namun apakah daya kerja masing-masing birokrasi adalah sama jika diukur dari tingkat kepuasan para ‘konsumen’ yang dilayani (warganegara).

Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalisme, dan profesionalisme.

Berikut ini beberapa pengertian tentang birokrasi oleh beberapa ahli :

· Micheal Crozier

Birokrasi adalah pemerintahan oleh sejumlah biro, yakni “ pemerintah oleh sejumlah departemen negara yang di isi oleh sejumlah staff yang ditunjuk dan bukan di pilih secara hierarkis dan keberadaannya tergantung pada otoritas yang mutlak.

· Heady (1991)

Birokrasi sebagai suatu fenomena yang berhubungan dengan organisasi yang kompleks dan berskala besar yang mempunyai karakteristik tertentu.

· Weber (1992)

Birokrasi merupakan rasional kegiatan yang kolektif.

Baik di Negara maju maupun di Negara berkembang, birokrasi mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya saja karakteristik birokrasi di masing-masing Negara mempunyai perbedaan. Negara tidak dapat lepas dari birokrasi karena birokrasi memiliki peranan penting dalam menentukan kebijakan dan arah perkembangan suatu negara.

Gambaran umum birokrasi Indonesia

Pasca kemerdekaan ( masih semangat memperjuangkan nasib rakyat Indonesia)

Masa demokrasi parlementer ( ada unsur kepentingan politik dalam birokrasi)

Orde baru (didominasi oleh kekuatan Golkar)

Reformasi (birokrasi kurang peka terhadap kebutuhan masyarakat)

Gambaran umum birokrasi Singapura

Pemerintah berperan aktif di masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan ekonomi

Pekerjaan sebagai pegawai negeri memiliki prestise yang tinggi di Singapura

Pegawai Negeri memiliki empat divisi hierarkis dan beberapa yang berperingkat pejabat "supergrade”

Pelayanan publik di Singapura hampir seluruhnya bebas dari korupsi dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kuat yang menekankan pada kejujuran dan dedikasi kepada nilai-nilai nasional

Birokrasi Di Negara Maju

Birokrasi negara maju akan menunjukan pada titik tertentu sebuah tingkat keprofesionalan yang tinggi, baik untuk mengidentifikasi maupun melayani berbagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Karena sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta birokrasi sudah sangat berkembang, maka peran birokrasi pada proses-proses politik sudah jelas dan teratur dan berada dibawah kontrol yang efektif dari lembaga-lembaga politik yang secara fungsional menangani hal tersebut.

Birokrasi Di Negara Berkembang

Birokrasi di kebanyakan negara berkembang cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol karena orientasi dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.

Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu:

1. Pertama, administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik.

2. Kedua, birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas.

3. Ketiga, birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.

4. Keempat, ditandai adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.

5. Kelima, birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.

Indonesia harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan lainnya. Dalam upaya membangun birokrasi Indonesia yang modern, acuan yang digunakan adalah model birokrasi legal-rasional. Namun dalam pembangunan selanjutnya, tipe birokrasi legal-rasional yang dihasilkan berbeda dengan apa yang dikonsepsikan Weber, karena masuknya unsur-unsur birokrasi tradisional-patrimonial. Pengaruh sejarah dan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia ternyata menghasilkan corak birokrasi yang khas Indonesia, di mana unsur-unsur tradisional, modern dan kepentingan-kepentingan politik praktis membaur di dalamnya.

Senin, 10 Januari 2011

Korupsi Kolusi dan Nepotisme

Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) merupakan tindakan sistemik yang banyak merugikan negara dan masyarakat. Eksistensi KKN ini sudah ada sejak zaman orde baru. Terlebih di zaman otoriter tersebut KKN secara implisit dilegalkan karena dilegitimasi langsung oleh penguasa yang kongkalikong dengan pengusaha.

Dewasa ini banyak kasus KKN yang terungkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Di Indonesia sendiri merupakan negara yang cukup terkenal dengan budaya korupsi masyarakatnya. Sebagai anak negeri yang peduli dengan kondisi bangsa, fakta ini tentulah dirasakan sebagai hal menyedihkan yang dapat mencoreng nama, harkat dan martabat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.

Negara besar dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sekaligus negara yang memiliki tingkat prestasi korupsi yang mencengangkan. Izzah atau harga diri Indonesia di mata dunia internasional, kerap direndahkan hanya karena budaya korupsi yang sudah cukup akut menjangkiti sistem birokrasi pemerintahan Indonesia. Berbagai kasus-kasus korupsi setiap harinya muncul di layar kaca sebagai top news. Namun sayangnya, tak satu pun penyelesaian hukum yang diberikan pada koruptor-koruptor tersebut memberi keadilan bagi masyarakat.

Korupsi

Korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, golongan, kerabat dengan cara melawan aturan hukum. Misalnya, kasus korupsinya Gayus Halomoan Tambunan yang merugikan negara ratusan miliar rupiah. Atau dakwaan korupsinya Aulia Pohan yang merugikan negara puluhan miliar rupiah. Seseorang disebut korupsi ketika ada uang negara yang digunakan untuk memperkaya diri dan atau golongannya saja.

Kolusi

Kolusi merupakan perilaku atau tindakan yang memiliki tendensi menguntungkan rekanan dengan cara menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Misalnya, seorang Bupati, Walikota atau Pejabat Negara lainnya, yang membuka tender hanya secara formalitas karena sudah ditetapkan pemenang tender, jauh-jauh hari sebelum tender dibuka.

Kolusi tak akan terlihat secara kasat mata melainkan hanya bisa dirasakan dan dianalisis dari indikasi-indikasi yang ditumbulkannya. Dengan pemberian privilege seorang pejabat kepada pihak-pihak tertentu, membeda-bedakan para peserta tender, dsb.

Nepotisme

Nepotisme beda tipis dengan kolusi, yakni sikap atau tindakan seorang pejabat yang lebih mendahulukan atau mengutamakan keluarga, teman dekat atau kerabat dibandingkan masyarakat lainnya. Misalnya dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) biasanya praktik nepotisme ini sangat kental terjadi. Nah, keluarganya lebih didahulukan sekalipun, mungkin, ketika tes kelayakannya anggota keluarganya tersebut tak lulus.

Dampak Korupsi dapat menghancurkan jalannya praktek bisnis dan politik :

  • Negara mengalami kerugian dan membuat rakyat semakin miskin. Uang yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, malah masuk ke kantong-kantong pejabat.
  • Saat satu tindakan korupsi berhasil dilakukan dan tidak mendapat sanksi hukum yang sesuai, hal ini akan memicu tindakan korupsi yang lain. Hal ini bisa menjadikan Indonesia sebagai negara paling korup di dunia karena korupsi menjamur dengan suburnya.
  • Citra badan hukum negara seperti kepolisian akan menjadi buruk di mata masyarakat. Hal ini akan membuat warga Indonesia tidak lagi menghormati badan hukum negara.
  • Tak hanya badan hukum, seluruh pemerintahan Indonesia juga akan mendapat pandangan sinis dari masyarakat. Membuat warga tidak percaya lagi pada sistem pemerintahan.
  • Pemilu tidak akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan masyarakat sudah malas untuk memilih pimpinan. Menurut masyarakat, mengikuti pemilu sama saja memilih koruptor berikutnya.
  • Bila kasus korupsi dibiarkan terus-menerus, dampak korupsi yang paling besar adalah perlawanan dari rakyat karena ketidakpuasan pemerintahan.

    Misalnya saja, tidak ada lagi masyarakat yang mau membayar pajak, terjadi demo besar-besaran yang memungkinkan bisa menggulingkan pemerintahan, dan keadaan negara akan kacau balau karena rakyat yang marah.

Senin, 29 November 2010

waaaaa....dateng lg,,



hadeeeeeeeehhh ni org knp ci???

udah sih nyiksa gw, blm puas x y dy,,....
gw pgn jauh2 dr dy g mo liat dy lg n g mo tw dy lg,,

just it..

plissssssssss......

sakit rasanya,,,,,,mgkn lo g brasa n g akan pernah ngrasa, :(

Minggu, 28 November 2010

heartbreak....



mungkin bodoh prasaan ini....

mungkin tdk masuk akal...

mengingatmu membuatku rapuh,,

namun melupakanmu semakin rapuh,,,


tp km tdk, tdk untuk slamanya.......

Kamis, 25 November 2010

Proses Pemilihan Pemimpin Daerah


Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:

1. Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi

2. Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten

3. Walikota dan wakil walikota untuk kota

Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama "pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah". Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Dengan diterbitkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dipilih secara langsung oleh rakyat di Daerah secara demokratis dalam pemilihan umum. Sehingga seluruh komponen masyarakat di Daerah memiliki hak yang sama dalam pemilihan Kepala Daerah.

Untuk pertama kalinya, Pemilihan Umum Kepala Derah sebagai media perwujudan demokratisasi masyarakat di Daerah, disambut dengan berbagai reaksi dikalangan masyarakat di daerah, diantaranya melalui berbagai tahapan pemilihan Kepala Daerah seperti kampanye Pilkada dan tahapan lainnya. Melalui kampenye tersebut, rakyat diajak untuk berpesta demokrasi dan diperkenalkan calon Kepala Daerah serta visi, misi dan program kerjanya. Dalam pesta demokrasi tersebut, rakyat diberi kebebasan yang hakiki untuk menentukan pilihan politiknya dengan mendukung dan mencoblos salah satu Calon Kepala Daerah yang dikehendaki dan sesuai dengan keinginannya.

Memasuki masa-masa kampanye, Calon Kepala Daerah peserta pemilihan umum berusaha untuk memperoleh dukungan agar mendapatkan perolehan suara sebanyak mungkin dari warga masyarakat.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah diawali dengan pencatatan calon pemilih yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten (Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Catatan Sipil Kabupaten). Selanjutnya berdasarkan hasil pendataan calon pemilih tersebut akhirnya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum bahwa jumlah pemilih terdaftar/tetap sebanyak sekian orang dengan perincian sekian orang pemilih laki-laki dan sekian orang pemilih perempuan.

Setelah dilakukan penghitungan hasil pemilihan suara dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai berjenjang ke tingkat Kecamatan dan Kabupaten, akhirnya dapat di ketahui perolehan suara masing-masing calon Kepala Daerah peserta Pilkada.

Guna mencapai keberhasilan dan meraih dukungan suara semaksimal mungkin dalam pemilihan kepala daerah, maka masing-masing calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, membentuk Tim Sukses. Tim sukses tersebut selanjutnya didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut Tim Kampanye atau Juru Kampanye. Tim tersebut adalah tim yang secara formal didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum Daerah, dengan komposisi dari masing-masing pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peran partai dan kelompok kepentingan dalam pemilu antara lain memberi masukan-masukan dalam proses penyusunan APBD yang mana masukan-masukan tersebut dapat diterima dan dikuatkan dengan ditetapkan sebagai Perda (Peraturan Daerah) untuk kemudian dilaksanakan/di aplikasikan dalam bentuk pembangunan secara nyata pada masyarakat.

Nama : Dwi Rahmahyanti

NPM : 27209024

Kelas : 5EB15

Rabu, 24 November 2010

Struktur Politik

Pengertian struktur Politik

Struktur Politik berasal dari dua kata yaitu, Struktur dan Politik. Struktur berarti badan atau organisasi, sedangkan politik berarti urusan Negara. Jadi secara harafiah struktur politik berarti badan atau organisasi yang berkenaan dengan urusan Negara. Untuk itu struktur politik selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Sebagaimana Bertrand Russel mengatakan bahwa kekuasaan adalah konsep yang mendasar dalam ilmu social, seperti halnya energy dalam konsep ilmu alam. Menurut Muhtar Afandi, Kekuasaan adalah kkapasitas,, kapabilitas, atau kemampuan untuk mempengaruhi, menyakinkan, mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain.

Kelompok Elite

Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). Sementara Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan- keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan.

Mosca meneliti komposisi elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran ‘kekuatan sosial’ tertentu. Mosca mengenalkan konsep ‘sub elite’ yang merupakan kelas menengah dari para pegawai negeri sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas menengah ini dianggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh lapisan kelompok menengah ini. Menurut Pareto, antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis.

Kelompok kepentingan (Interest Group)

Sepanjang sejarah, kelompok kepentingan selalu ada beriringan dengan keberadaan negara atau pemerintahan yang ada. Bahkan, dalam sistem politik kerajaan sekalipun, kelompok kepentingan juga ada. Meski dalam kapasitas dan intensitas kegiatan yang minimalis, akibat represi kerajaan yang cenderung despotis. Kelompok kepentingan dalam sistem negara yang menganut demokrasi, seperti Indonesia, mendapatkan ruang yang cukup luas. Namun, sayangnya, ruang ini kerap kali tidak digunakan secara efektif dan maksimal akibat benturan kepentingan pada kelompok kepentingan itu sendiri.

Kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Perbedaan-perbedaan tersebut sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Gabriel A Almond dalam Interest Group and Interest Articulation-nya (Boston: Little Brown and Company, 1974), menyebutkan setidaknya ada empat kelompok kepentingan dalam kehidupan politik.

Pertama, kelompok anomik. Kelompok-kelompok anomik ini terbentuk di antara unsur-unsur masyarakat secara spontan dan hanya seketika. Dan, karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, kelompok ini sering tumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non-konvensional, seperti demonstrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik, dan seterusnya. Sehingga, apa yang dianggap sebagai kelompok anomik ini mungkin saja tidak lebih dari tindakan kelompok-kelompok terorganisasi yang menggunakan cara-cara non-konvensional atau kekerasan.

Kedua, kelompok non-asosiasional. Seperti kelompok anomik, kelompok ini jarang sekali yang terorganisasi secara rapi. Selain itu, kegiatannya juga tidak begitu intens, hanya kadang kala. Wujud dari kelompok ini adalah kelompok-kelompok keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status, dan kelas yang menyatakan kepentingan secara kadangkala melalui individu-individu, kepala keluarga, atau pemimpin agama. Secara teoretis, kegiatan kelompok non-asosiasional ini terutama merupakan ciri masyarakat belum maju, di mana kesetiaan kesukuan atau keluarga-keluarga aristokrat mendominasi kehidupan politik, dan kelompok kepentingan yang terorganisasi dan fokus tidak ada atau masih lemah.

Ketiga, kelompok institusional. Kelompok ini sifatnya formal dan memiliki fungsi-fungsi politik atau sosial lain di samping artikulasi kepentingan. Karena itu, organisasi-organisasi seperti partai politik, korporasi bisnis, badan legislatif, militer, birokrasi, dan ormas-ormas keagamaan sering kali mendukung kelompok ini atau memiliki anggota-anggota yang khusus bertanggung jawab melakukan kegiatan lobi. Sebagai kelompok yang formal seperti itu, kelompok ini bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Jika kelompok institusional ini sangat berpengaruh, biasanya akibat dari basis organisasinya yang kuat.

Keempat, kelompok asosiasional (lembaga-lembaga swadaya masyarakat). Kelompok asosiasional meliputi serikat buruh, kamar dagang, atau perkumpulan usahawan dan industrialis, paguyuban etnik, persatuan-persatuan yang diorganisasi oleh kelompok-kelompok agama, dan seterusnya. Secara khas, kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kelompok khusus, memakai tenaga staf profesional yang bekerja penuh, dan memiliki prosedur teratur untuk untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan.

Kelompok Birokrasi

Sebagaimana yang didefinisikan oleh Hague, Harrop dan Breslin bahwa “birokrasi adalah organisasi yang terdiri atas aparat bergaji yang melaksanakan detail tugas pemerintahan, memberikan nasehat dan melaksanakan keputusan kebijakan”. Lebih jauh dijelaskan bahwa birokrasi memiliki beberapa fungsi / tugas diantaranya adalah menjamin pertahanan-keamanan, memelihara ketertiban, menjamin keadilan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pemeliharaan sumberdaya alam dan lain-lain. Eksistensi birokrasi merupakan organ utama dalam sisitem dan kegiatan pemerintahan yang oleh karenanya birokrasi dapat menjalankan peran-peran tertentu atas otoritas negara, yang merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh badan / institusi lain manapun.

Dalam kategori negara berkembang, Birokrasi dimata masyarakat tentunya masih mempunyai makna dan fungsi yang sangat dominan ketimbang di negara maju, dimana birokrasi itu sendiri lahir. Hal ini bisa dipahami karena birokrasi masih dipandang sebagi instrumen pokok negara untuk melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijaksanaan. Dengan kata lain birokrasi menempati posisi sentral sebagai sistem untuk mengatur jalannya roda pemerinahan.

Menurut Idal Bahri Ismadi, salah satu ciri yang menonjol dalam birokrasi modern adalah hirarkhi jabatan-jabatan (atasan dan bawahan) dan terdapat rekruitmen, promosi, penggajian pemisahan bidang pribadi dengan jabatan yang kesemuanya diatur menurut undang-undang. Namun dalam

pandangan Weber , birokrasi legal – rasional merupakan bentuk yang paling murni dari wewenang legal-rasional, impersonal dan netral. Mekanisme kerja biokrasi itu diatur dengan seperangkat aturan formal yang berjalan secara otomatis tanpa pandang bulu. Ditambahkan pula oleh Weber bahwa birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalitas dunia modern yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses social.

Massa

Massa (mass) atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection) individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.

  1. Massa menurut Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak bola, orang melihat bioskop dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900).
  2. Massa menurut Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai ciri-ciri:

· Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan sebagainya.

· Adanya persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan sebagainya.

· Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu. Antara massa absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan bubar.

· Massa menurut Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience.

Selasa, 23 November 2010

Fungsi-fungsi Politik antara lain :

Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat.

Greenstein dalam karyanya "International Encyolopedia of The Social Sciences" 2 definisi sosialisasi politik:

1. Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.

2. Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajar bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.

Menurut Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.

Menurut Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan
pola-pola tingkah laku. Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:

1. Tingkat Komunitas Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.

2. Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka. Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan.

Rekrutmen politik

Rekrutmen politik merupakan salah satu fungsi parpol. Rekrutmen politik adalah proses ke arah pengisian (staffing) peran-peran politik yang telah dirumuskan dalam sistem politik (Seligman, 1964). Proses rekrutmen politik selalu bermakna ganda.

· Pertama, menyangkut seleksi untuk menduduki posisi-posisi politik yang tersedia, seperti anggota legislatif, kepala negara dan kepala daerah.

· Kedua, menyangkut transformasi peran-peran non-politik warga yang berasal dari aneka subkultur agar menjadi layak untuk memainkan peran-peran politik (Cornelis Lay, Prisma No. 4-1997).

Rekrutmen politik, di mana pun, memiliki pola yang serupa tapi tak sama. Sekurangnya, ada tiga pertimbangan dalam proses rekrutmen politik.

· Pertama, rekrutmen politik merupakan indikator yang sensitif dalam melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat politik.

· Kedua, pola-pola rekrutmen politik merefleksikan sekaligus mempengaruhi masyarakat.

· Ketiga, pola-pola rekrutmen politik juga merupakan indikator yang penting untuk melihat pembangunan dan perubahan dalam sebuah masyarakat politik.

Dengan tiga pertimbangan itu, kajian mengenai rekrutmen politik mengharuskan kita menghampiri isu-isu krusial, seperti basis legitimasi politik, rute yang ditempuh ke arah kekuasaan, keterwakilan politik, hubungan antara rekrutmen politik dan perubahan politik, dan akibat-akibat bagi masa depan politik.

Komunikasi Politik

Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.

Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.

Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR

Menurut Gabriel Almond (1960) komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”

Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.

Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.

Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa “penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).

Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.

Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktek proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi :

1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.

2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”

3. Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat.

4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Stratifikasi Politik

Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut ;

1. Tingkat penentu kebijakan puncak.

· Meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup penentuan undang-undang dasar. Menitikberatkan pada masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan tingkat puncak dilakukan oleh MPR.

· Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal 10 sampai 15 UUD 1945, tingkat penentu kebijakan puncak termasuk kewenangan Presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh kepala negata dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala negara.

2. Tingkat kebijakan umum. Merupakan tingkat kebijakan dibawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya menyeluruh nasional dan berisi mengenai masalah-masalah makro strategi guna mencapai idaman nasional dalam situasi dan kondisi tertentu.

3. Tingkat penentu kebijakan khusus. Merupakan kebijakan terhadap suatu bidang utama pemerintah. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang tersebut. Wewenang kebijakan khusus ini berada ditangan menteri berdasarkan kebijakan tingkat diatasnya.

4. Tingkat penentu kebijakan teknis. Kebijakan teknis meliputi kebijakan dalam satu sektor dari bidang utama dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan.

Tingkat penentu kebijakan di Daerah.

· Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di Daerah terletak pada Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerahnya masing-masing.

· Kepala daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Kebijakan tersebut berbentuk Peraturan Daerah (Perda) tingkat I atau II.

Menurut kebijakan yang berlaku sekarang, jabatan gubernur dan bupati atau walikota dan kepala daerah tingkat I atau II disatukan dalam satu jabatan yang disebut Gubernur/KepalaDaerah tingkat I, Bupati/Kepala Daerah tingkat II atau Walikota/Kepala Daerah tingkat II